Bismillah, was-sholaatu was-salaamu ‘alaa rasuulillah wa ‘alaa aalihii wa man waalahu, amma ba’du.
Sebagian kaum muslimin, khususnya di Indonesia, memiliki kebiasaan melafazkan niat sebelum takbiratul ikhram sebab mengetahui hukumnya sunnah menurut madzhab mereka. Apakah benar?
Untuk menjawab apakah melafazkan niat termasuk bid’ah, maka harus dibagi menjadi beberapa poin.
1. Melafazkan niat tidak hanya di madzhab syafii
Masyhur kiranya dalam madzhab syafi’i bahwasanya melafazkan niat termasuk hal mustahab. Akan tetapi harus diketahui bahwasanya sebagian ulama dari madzhab hanbali dan madzhab lain juga menghukumi mustahab.
2. Melafazkan niat hukumnya mustahab bukan sunnah
Banyak dari kaum muslimin yang salah mengira bahwasanya melafazkan niat itu sunnah, padahal yang benar yang dikatakan oleh para fuqaha syafi’iyyah adalah hukumnya mustahab. Jadi disini berbeda antara sunnah dan mustahab.
- Sunnah: ditetapkan fuqaha karena ada atsar (riwayat) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Mustahab: bersifat lebih umum dari sunnah. Bisa ditetapkan fuqaha dengan atsar atau tanpa atsar dengan berbagai pertimbangan dalam ijtihad.
3. Harus dibedakan antara melafazkan niat dan menjahrkan niat
Fuqoha Syafiiyyah tidak mengatakan harusnya menjahrkan niat, akan tetapi mengatakan melafazkan niat. Jadi beda antara melafazkan dan menjahrkan.
- Menjahrkan: mengucapkan lafaz hingga orang lain mendengar lafaz tersebut.
- Melafazkan: mengucapkan lafaz untuk didengar sendiri, tanpa memperdengarkan kepada orang lain.
4. Alasan kenapa melafazkan niat mustahab
Dalam berniat, ketika menghadirkan hati ketika takbiratul ihram, maka seseorang harus menghadirkan hal-hal berikut -sebagai contoh dalam shalat dzhuhur-:
- Niat mengerjakan shalat, bukan mengajar, atau lainnya
- Niat mengerjakan shalat dzuhur, bukan ashar atau lainnya
- Niat untuk shalat fardhu, bukan sunnah atau lainnya
- Shalat sebagai makmum, bukan imam
- Shalat qashar, bukan yang lain
Maka bila seseorang tidak menghadirkan 3 poin awal, maka shalatnya batal menurut madzhab syafi’i.
Kemudian dalam kenyataannya, seseorang mengalami kesulitan menghadirkan niat tatkala takbiratul ikhram. Maka solusi yang ditawarkan dari hasil ijtihad para ulama adalah dengan melafazkan niat, sehingga hal tersebut membantu seseorang untuk mengatur niatnya dalam hati.
Nah, perlu diketahui juga bahwasanya melafazkan niat itu bukanlah niat, akan tetapi sarana untuk mempermudah seseorang berniat.
- Maka bila seseorang melafazkan niat akan tetapi tidak berniat secara benar dalam hati, maka shalatnya tidak sah.
- Sebaliknya, bila seseorang tidak melafazkan niat akan tetapi telah berniat secara benar, maka shalatnya sah.
5. Makna bid’ah tidak selalu kesesatan dalam aqidah
Dalam permasalahan fiqih, para fuqaha menggunakan kata bid’ah untuk menunjukkan hukum makruh. Misalnya dalam permasalahan “Apa hukum istinja karena kentut?”. Maka para fuqaha disini ada yang berpendapat mubah, ada yang berpendapat mustahab, ada yang berpendapat bid’ah. Nah, makna bid’ah disini adalah makruh. Sebagaimana perkataan Imam Nawawi rahimahullah:
بدعة لا يأثم, ولا يأثم فاعله
Artinya: Hal ini adalah bid’ah, tidak ada dosa di dalamnya, dan tidak ada dosa bagi yang mengerjakannya.
Maka perlu diketahui bahwasanya pengertian bid’ah yang disebutkan oleh para ulama memiliki ragam makna yang harus diketahui agar tidak terjadi kesalahpahaman. Memutlakkan bid’ah hanya kepada hal yang mufassiqah (menjadikan fasik) dan mukaffirah (menjadikan kafir) adalah hal yang terlalu tergesa-gesa. Padahal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terkadang juga memutlakkan bid’ah kepada masalah fiqih yang di dalamnya terdapat khilaf.
Kemudian bila dipikirkan lagi, dalam masalah qunut subuh, sebagian ulama mengatakan hal tersebut hukumnya bid’ah. Apakah lantas yang mengerjakan qunut adalah orang yang fasiq atau kafir? Padahal kita ketahui bersama bahwa Imam Syafi’i dan Imam Malik termasuk ulama besar umat Islam yang berpendapat bahwa qunut subuh adalah sunnah.
Semoga Allah menambahkan ilmu bermanfaat untuk kita semua dan menunjuki kita ke jalan hidayah. Aamiin.